Tidak ada air mata yang menetes. Atau nafas yang begitu menggelegak. Ekspresinya peres. Hanya saja, matanya memang tidak bisa berbohong kalau hatinya tengah berontak. Tetap saja, dia berusaha tenang dan ceria seperti yang kukenal. Yakinlah itu bohong. Kami bersahabat sejak lama. Dan sejak lama aku iri dengannya. "Aku ingin keliling ke kota-kota di Indonesia. Aku akan menikmati tiap sudut kota. Untuk makan, aku akan bekerja," ujarnya saat masih duduk di bangku kuliah. "Ngawur kamu. Mana ada pekerjaan semacam itu?" sanggahku. "Ada...gak usah takut. Kita hidup sekali, harus senang-senang. Bekerja itu cuma sambilan," katanya enteng. Aku hanya menatap wajah optimisnya saat itu. Entah keirian yang ke berapa kali hinggap di hatiku saat itu. Malini memang serba beruntung. Apa yang diinginkan dia pasti terwujud. Orang tuanya termasuk golongan berada. Meski tak kaya raya, dia selalu dimanja dengan berbagai keinginan yang sudah terpenuhi. Dan dia ...
happy, healthy, wealthy