Skip to main content

Big Girls don't Cry?



Setelah menikah, tentu semua orang kebanyakan ingin punya anak entah lelaki atau perempuan. Terserah, yang penting sehat. Dan harapan itu ada di benakku. Sebagai perempuan normal dan sehat, aku mengira kalau aku akan bisa hamil dan melaluinya dengan baik.
Kabar baik itu datang dengan tidak sengaja ketika nenekku dari jalur ibu meninggal dunia setelah dirawat satu bulan di rumah. Kuakui, kala itu sudah curiga dengan diri sendiri yang sudah satu bulan lebih tidak datang bulan. Tapi di sisi lain, aku akui takut untuk berharap kalau aku sedang mengandung karena di bulan-bulan sebelumnya ternyata cuma masuk angin. 
Tatkala nenek meninggal dunia, aku adalah orang yang paling sibuk saat itu. Ambil bantal, ambil selimut, ambil minyak kayu putih, bikin teh anget dan lain sebagainya. Menjelang ujung pemandian jenazah, aku merasa ada yang basah. Aku mengira jika akhirnya datang bulan dan kusampaikan pada suamiku. Dia bilang, "Alhamdulillah".
Tapi besok paginya, saat aku cek ternyata tidak ada darah haid seperti biasanya. Tiba-tiba saja berhenti. Aku pun memutuskan bahwa aku tidak haid dan itu semacam 'peringatan' datangnya siklus bulanan. Perkiraanku salah. Esoknya, darah datang lagi. Tapi hanya sedikit dan membentuk seperti flek saja. 
Aku bingung. Kutunggu seharian. Ternyata hal terus berulang.  Aku makin curiga.
Saat itu, aku sengaja sudah beli testpack beberapa hari sebelumnya tapi belum kugunakan. Alasannya menunggu beberapa hari lagi agar bulan berganti. Tapi, Sabtu (20/7) aku putuskan untuk test pack. Malam itu juga. 

Hasilnya: POSITIF.

Keluar kamar mandi, aku langsung sujud syukur. Siapa yang tidak bahagia kalau hasil test pack-nya positif? Errr....kecuali yang belum bersuami kali yah. 
Aku mencoba memberi kejutan pada suamiku soal ini, tapi tampaknya dia tidak ngeh karena terlalu sibuk. Akhirnya kuungkap semua dan di ujung telepon dia begitu bahagia. Aku akan jadi ibu dan suamiku akan jadi ayah. Kami akan punya anak.
Bayangan tentang ibu-ibu yang tengah hamil terlintas di pikiranku saat itu. Tapi aku tidak mau jadi bumil yang manja yang minta ini-itu kepada suaminya. Minggu pagi aku ke bidan di dekat rumah dan menceritakan kondisiku termasuk adanya flek-flek darah.. Bidan tersebut mengatakan bukan hal yang berbahaya dan akan diberi obat penguat. 
Pemeriksaannya terkesan tidak serius. Aku tidak puas. 
Dua hari kemudian, aku ke bidan lain yang juga sama-sama kondang di kawasan rumahku. Disitu, aku dimarahi habis-habisan dan dijelaskan panjang lebar jika kehamilanku rawan keguguran. Dengan usia dan postur tubuhku, serta keluhan yang ada, peluang tersebut sangat besar. Aku dilarang naik motor. 
Pulang dari bidan, aku menangis. Tapi masih optimistis.
Rutin aku minum obat penguat dan rutin diantar ke kantor oleh suamiku. Kebetulan tidak ada jadwal ke luar kota. Saat itu, bulan puasa baru berjalan 10 hari. Aku memutuskan untuk tidak berpuasa atas anjuran bidan tersebut. 
Jelang habis obat, aku merasa makin gelisah. Aku yang tadinya takut untuk ke dokter spesialis kandungan laki-laki memutuskan untuk memeriksakan diri ke rumah sakit ibu dan anak dekat rumah. Tidak jauh, hanya 500 meter saja. 
Disini, aku makin ternganga. Setelah di-USG diketahui kandunganku bermasalah. Kehamilan 2 bulan, namun janinku hanya berusia 6 minggu saja. Dokter Iman mencoba menghiburku dan menyatakan akan mempertahankan kehamilanku. Dia memberi obat penguat terbaik. 
Kenyataannya, darahku sempat mengucur deras selama dua hari. Aku menangis melihat darah terus-terusan keluar dari tubuhku. Tidak. Tidak kukhawatirkan diriku. 

Tapi ada apa dengan anakku?

Aku memutuskan cuti dan menurunkan tempo kegiatanku. Aktivitasku menurun drastis. Hampir 100 persen kegiatanku di rumah saja. Tidur, makan, duduk, minum obat, nonton televisi, mengaji, sholat, mandi. Tidak masak, tidak mencuci baju, mencuci piring atau mengepel. Aku bagai kehilangan arah. 
Semua orang pesimistis dengan kehamilanku. Mulutnya berucap doa. Tapi tatapannya sudah menyatakan kedukaan akan kehilangan seorang calon bayi. Aku stres. Beruntung, suamiku selalu memelukku dan mengusap air mataku. Meminta diriku untuk bertahan, untuk kesehatanku sendiri. Aku mencoba percaya. 
Tapi tiap kali suamiku pergi bekerja dan aku diam sendirian dalam kamar, tetap saja menangis tidak bisa terhindarkan. Tidak lama. Sekejap saja. Tapi air mata telah mengalir. 
Itu situasiku selama 2 minggu jelang Lebaran. Darah masih terus  mengalir bagai darah haid.
Aku berdoa pada Allah SWT, "Jika memang janin ini baik untuk semua, terutama untuk kesehatan bayiku maka tiupkanlah ruh padanya Ya Allah. Namun jika tidak, terutama untuk bayiku itu sendiri, maka berikan aku kelapangan untuk menerima ketetapanMu."
Doa itu yang selalu kupanjatkan berulang-ulang dengan pasrah. Dan maka ketika suami mengajak untuk mudik dengan menggunakan mobil pribadi, aku mengiyakan. 
Iya....silakan menuding aku sebagai perempuan bodoh yang tidak mau menjaga janinnya sendiri. Tapi aku sudah pasrah. Lagipula ini adalah Lebaran. Aku tidak ingin terlalu sedih memikirkan kondisiku yang berdarah terus menerus. Betapa keras aku berusaha menggumpalkan kebahagiaan dalam hatiku. 

Ini Lebaran.

Dan nasib terjadi seperti yang sudah digariskan. Hari ketiga, tepatnya 11 Agustus dini hari, pendarahanku mendadak sangat hebat, gumpalan-gumpalan darah mendadak muncul. Perutku sakit luar biasa. Dadaku naik turun menahan sakit. Aku menghabiskan empat pembalut tidak lebih dari satu jam. 
Suamiku panik, Mertuaku juga. 
Dicobanya untuk memanggil bidan di kampung mertuaku. Nihil. 
Dicari mantri yang biasa dikunjungi warga desa. Nihil.
Dicarikan pula mobil untuk membawaku ke rumah sakit. Nihil.
Dicari pula becak yang mungkin saja bisa disewa. Nihil. 

Bapak mertua lantas memboncengku bersama suamiku di belakangku menuju ke RS Nahdlatul Ulama, Balungbesuk, Jombang. Masuk UGD, dokter jaga tidak bisa memutuskan tindakan atas kondisiku yang perdarahan tiada henti. Hasil pemeriksaan oleh dr. Izzati Nadhifa Rahmawati memutuskan aku harus diinfus dan ditenangkan. Besok pagi, baru bisa ada tindakan setelah UGD. 
Suamiku memutuskan untuk menggunakan keahlian dr;Rizal Fitni SpOG untuk menangani aku. Di pagi hari, darahku keluar menggumpal-gumpal seukuran jari-jari lelaki dewasa. Suamiku mencoba tenang dan menghiburku. Aku senyam-senyum.
Saat pemeriksaan oleh dr. Rizal, dia menyatakan hal yang tidak jauh berbeda dengan dr. Iman. Aku pun menceritakan hasil pemeriksaan dr. Iman kepada dr. Rizal. Keputusannya : operasi kuret. 

Vonis sudah dijatuhkan. Aku pasrah karena sudah menduga sejak pemeriksaan USG di Surabaya. Tidak ada takut atau khawatir yang terbesit. Lagi-lagi, dugaanku salah. Usai diberi obat perangsang, bukaan demi bukaan bermunculan bersamaan dengan sakit perut yang luar biasa. Darah terus menerus keluar bersama gumpalan-gumpalan darah. Aku pingsan di ruang operasi menahan sakit tersebut. Oksigen sempat dililitkan di hidungku. 
Di satu tarikan nafas terakhir bersama batuk, sebuah gumpalan keluar. Kukira itu hanya gumpalan darah biasa.SALAH lagi. 
Bidan mengambil gumpalan darah tersebut yang ternyata sebuah janin sepanjang ibu jari dengan ukuran jempol. Ada seperti bulatan kepala di bagian atasnya, dengan garis-garis horizontal di sepanjang tubuhnya yang makin mengecil ke bawah. Di bagian bawah, ada seperti darah menggantung. Kata bidan,"Ini bakal kaki sepertinya."
Aku tersenyum dan berlanjut ke tangisan. Sedihnya melebihi sakit yang aku rasakan di ruang operasi. Sakit sekali. Tidak tahu apa kata yang tepat untuk mendeskripsikannya. 
Setelah itu, aku hilang kesadaran karena dr. Rizal sudah datang. Dia bersiap menjalankan prosedur kuret yang ternyata berlangsung kurang dari satu jam. Aku pingsan selama dua jam dan masih terbangun di ruang operasi. Tidak lama, dipindahkan ke kamar perawatan. Disana, langsung tertidur hingga pagi 
Saat bangun, aku sempat menangisi kehilangan janinku.  Suamiku menghiburku lagi. 

Ya Allah...entah berapa kali aku menangis termasuk ketika kembali ke rumah mertua dan kembali ke rumah di Surabaya. 

Sudah lewat lima hari aku kehilangan janin, kesedihanku sudah mulai berkurang. Kadang masih termenung mengingat peristiwa setelah Lebaran itu. Pun aku juga tertegun memandangi hasil USG terakhir yang menceritakan kondisi janinku: blighted ovum. 
Secara kasar, diartikan janinku sudah mati dalam kandungan. Situasi terakhir, rahimku sudah dipenuhi dengan darah sehingga apapun, tetap harus dikuret.

Ceritaku mungkin tidak sesedih perempuan yang kehilangan bayinya di usia yang lebih tua. Bahkan ada pula yang kehilangan bayinya saat melahirkan. Cerita ini hanya sekedar sharing saja yah. 
Dan saya sudah mencoba tidak menangis lagi. 

Big girls don't cry, huh?!?!


Hasil USG baby Gendhis usia 2 bulan
And I'm gonna miss you like a child misses their blanket
But I've got to get a move on with my life
It's time to be a big girl now
And big girls don't cry

Don't cry, don't cry, don't cry
(Fergie. Big Gilrs Don't Cry)

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej