Skip to main content

You Are What You Wear


http://www.gayahidup-lingkarberita.com/2012/09/you-are-what-you-wear.html
   FEATURE GAYA HIDUP TERBARU 

You are what you wear,..

Di antara segala macam strategi yang dilakukan pasangan Pilgub DKI Jakarta Jokowi dan Ahok, ada satu yang layak disebut khas. Yaitu penggunaan ‘seragam’ kotak-kotak.  Dalam dunia fashion, motif kemeja yang dipakai pasangan ini disebut fashion disaster atau bencana fashion!

Desainer kondang jelas tidak melirik motif jenis itu untuk dikeluarkan pada 2012. Dalam Milan Fashion Week 2012, salah satu barometer fashion dunia, kemeja motif kotak-kotak tidak nongol. Valentino misalnya, merilis koleksi pria berupa suit lengkap dipadu sepatu sneakers. Begitu juga dengan desainer dunia lain yang mengabaikan motif kotak-kotak paduan merah bata, abu-abu dan putih itu.

Alhasil, ketika pasangan Jokowi dan Ahok mengenakan kemeja kotak-kotak, mata publik fashion pun sempat terbelalak. Apalagi, Jokowi memadukannya dengan sepatu kets dan celana jeans. Di mana fashion stylist pasangan ini?

Tidak disangka, semua peniailan ‘normal’ tentang fashion dunia itu tidak berlaku di dunia politik Indonesia. Kotak-kotak justru sempat menjadi  trendsetter. Setidaknya, selama Pemilu Gubernur DKI Jakarta dihelat, tahun ini. Pendukung Jokowi-Ahok dari berbagai kalangan memakainya dengan bangga, dan merasa menjadi bagian dari gerakan ‘kotak-kotak’.

Simbolisasi 

Pakaian memiliki makna yang begitu dalam dan beragam. Tergantung point of view masing-masing penikmatnya. Dalam politik DKI Jakarta yang baru berlalu, motif kotak-kotak menjadi unsur penunjang dalam pencitraan tim sukses Jokowi-Ahok. Apalagi, masyarakat Indonesia masih senang dengan tawaran produk, baik berupa barang, jasa, maupun kandidat tertentu, yang dikemas lewat simbolisasi.

Jokowi dalam balutan kotak-kotak yang tidak ngetren plus wajah ndeso-nya malah menciptakan pesan ilusif. Yaitu bahwa calon tersebut adalah sosok yang sederhana dan merakyat.

Tapi, tidak hanya Jokowi yang memanfaatkan pakaian untuk simbolisasi dirinya dalam mendekatkan diri dengan pemilihnya. Simbolisasi macam ini sudah dilakukan oleh proklamator Indonesia, Soekarno. Presiden pertama Indonesia ini punya pakaian khas, semi militer dipadu dengan peci.

Pada era 1920-an, peci atau kopiah dianggap sebagai aksesoris pribumi, sehingga dianggap tidak cocok dipadukan dengan pakaian gaya Eropa maupun militer. Namun Bung Karno mampu membawa kopiah sebagai simbol nasional yang merakyat, dan mengenalkan peci hitam sebagai identitas Indonesia saat itu.

Dalam level dan tujuan yang berbeda, pengusaha nasional, Bob Sadino selalu  dikenali  dengan celana pendek warna putih. Sedangkan Menteri BUMN Dahlan Iskan dikenal dengan sepatu kets yang selalu dikenakannya. Simbolisasi yang merekatkan Dahlan dan model sepatu ciptaan Keds itu, bahkan sudah jadi bahan tulisan yang banyak beredar.

Sejumlah tokoh dunia, seperti Steve Jobs, juga terkenal dengan kaos turtleneck panjang warna gelap, dipadu celana jeans biru dan sepatu kets. Sementara Presiden Kuba Fidel Castro, terkenal dengan jaket olah raga yang selalu dikenakannya.

Fashion tentu saja sangat dekat dengan para artis yang memang jadi trendsetter masyarakat. Gaun halter top yang dikenakan Marilyn Monroe saat pemotretan pada 1954, membuat imej seksi melekat padanya. Begitu pula Audrey Hepburn, kerap diidentikkan dengan little black dress yang jadi item wajib para wanita hingga sekarang.

Artis sebagai trendsetter, juga berlaku di Indonesia. Nama Syahrini dicomot untuk menyebut desain kaftan. Yaitu desain dengan lengan melebar di sebelah kanan dan kiri, dilengkapi tudung di bagian leher dan manik-manik yang menjutai di bagian dada hingga perut. Ashanty juga pernah jadi ikon gamis berbahan shifon dan ceruti dengan lengan kelelawar, dan potongan V serta manik-manik yang dipasang vertikal hingga ke bagian tengah baju gamis.

Fashion statement

Awalnya, pakaian dianggap sebagai kebutuhan sandang semata. Tapi, makin berkembangnya industri, membuat fashion menjadi etalase kecil kehidupan seseorang. Pemaknaan pakaian pun berubah.

Kini, pakaian kerap dikaitkan dengan kedudukan seseorang di masyarakat maupun gaya hidupnya. Apa yang dilekatkan pada tubuh kita berkembang menjadi alat mengekspresikan diri. Mulai dari gaya hidup, kedudukan ekonomi, protes sosial, hingga ke pandangan politik dan ideologi.

Masyarakat yang berada dalam kelas sosial rendah tidak mungkin bisa membeli karya Armani, yang harganya saja bisa membuat jantung berhenti berdetak. Namun, golongan jetset dengan mudah membeli merk Valentino bak kacang goreng, tanpa harus menghitung ulang sisa uang yang tersimpan dalam brankasnya.

Posisi ulama sebagai tokoh masyarakat juga tidak lepas dari fashion tertentu. Biasanya mereka mengenakan pakaian berwarna putih atau koko, dengan kopiah dan  sorban. Begitu pula para pendeta, biarawan, maupun tokoh agama lainnya.

Pakaian pun jadi identitas budaya sebuah komunitas. Pakaian masyarakat Jawa, misalnya, identik dengan kebaya dan kain batik.

Bagi fashionista, pakaian up to date jadi syarat wajib untuk bisa eksis dalam kelompoknya. Sekali Anda melanggar aturan yang ditetapkan fashion police, maka siap-siap saja mendapat cap salah kostum.

Industri fashion yang makin massif menjadikan desainer dan artis-artis  jadi trendsetter fashion apa yang layak untuk dikoleksi dalam periode tertentu. Terkadang seseorang rela merogoh kantong dalam-dalam, demi sebuah pakaian yang bisa menempatkan dia dalam strata sosial tertentu.

Selembar kain memang belum memberikan arti apapun ketika dipajang di toko pakaian. Benda ini akan menjadi bermakna sesuai dengan cara manusia memperlakukannya.

Tidak haram juga menjadikan artis atau tokoh tertentu sebagai patokan cara berpakaian kita. Namun, menjadi diri sendiri tentu akan lebih baik dan menciptakan rasa nyaman. Karena, you are what you wear.

Jadi apa fashion statement Anda?

Anissa Maria | Palupi Auliani
*foto oleh Halloween Comstum, Kantor Berita Antara
 

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej