Skip to main content

Luka di Mata Jayanti

Jayanti membuka matanya. Dia memandang ke sekelilingnya yang dengan cepat dikenalinya sebagai kamarnya. Pantatnya yang tipis digerakkannya ke samping dan tubuhnya menjadi telentang diatas kasur. Matanya berkejap-kejap menyesuaikan diri dengan gelapnya kamarnya. Diluar, remang-remang cahaya menelusup diantara gorden jendela kamarnya.

Sunyi. Gadis berambut keriting itu mencoba bangun.
”Aduh.....,” serunya lirih.

Tangan kanannya refleks memegang kepalanya. Sakit yang tiba-tiba dirasakannya membuat dia menghentikan upayanya duduk diatas kasur. Dia merebahkan diri sembari memejamkan mata dan tangan tetap diatas kepalanya. Dielusnya kepalanya sembari mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum dia jatuh tertidur tadi.

”Ah iya,” otak Jayanti sekonyong-konyong memutarkan memori memilukan siang tadi.

Lagi-lagi kakaknya menghajarnya habis-habisan gara-gara hal sepele yaitu rebutan remote control. Berkali-kali, Rio merebut kendali jarak jauh tersebut dari tangannya untuk menonton program lain. Padahal, Jayanti tengah menonton film India kesayangannya. Dia selalu menyempatkan diri untuk menonton film India karena saat ini televisi jarang sekali menyiarkan program ini. Apalagi, stasiun televisi yang bersangkutan selalu menyiarkan film India saat jadwal kuliahnya sedang tak padat. Kawan-kawannya paham itu termasuk empat sahabatnya yang selalu terkikik tiap kali dia lari terbirit-birit menuju pelataran parkir.

Tapi kali ini dia merasa kegiatan menontonnya telah diganggu kakaknya, Rio. Beberapa kali, remote control yang dipegangnya direbut oleh sang kakak dan diganti dengan program talkshow yang dibawakan oleh host terkenal. Janesti kesal. Dia tahu kakaknya akan marah besar dan tak ragu melayangkan pukulan kepadanya jika diganggu.

Namun, kesabarannya terus menipis. Pekan ini, Rio selalu mengganggu tanpa Janesti mau mendebatnya atau melawannya. Kali ini, dia juga malas menanggapi keusilan Rio. Dia hafal jika Rio tengah kesal –entah karena apa- selalu mencari cara untuk mengganggunya dan kemudian memukulnya sampai puas.

Jayanti tak mau terjebak. Dia pun beranjak meninggalkan ruang keluarga dan menuju kamar Rio di lantai dua. Disana ada sebuah televisi ukuran 14’’ yang bisa disetel. Janesti tahu keputusannya terlalu berani dan mengandung resiko. Tapi dia tetap harus menonton film India tersebut karena yang disiarkan hari ini adalah ending dari cerita tersebut. ”Lagipula itu kan televisi milik umum,” debatnya dalam hati.

Ternyata dugaannya meleset. Rio mendengar tapak kakinya melangkah ke atas dan tak lama kemudian suara-suara televisi mendarat di telinganya. Jayanti tak tahu bagaimana wajah Rio melihat kelakuannya tapi yang dia tahu gadis dengan tinggi menjulang itu mendengar kakaknya menaiki tangga dengan setengah berlari. Alarm dari dirinya pun menyala dan dengan cepat dia langsung berdiri.

Nalurinya menyuruhnya untuk segera menutup pintu kamar kakaknya. Tapi telat. Setengah mendobrak, Rio mendapati tubuh Jayanti terjengkang ke belakang. Tangan Rio langsung menjambak rambut Jayanti dan menariknya keluar.

Jayanti bukannya tak melawan. Dia meronta mencoba melepaskan tangan Rio dari rambutnya. Selintas dia melihat beberapa helai keriting di lantai. Rambutnya rontok dijambak Rio. Jayanti mulai menolakkan tubuhnya menahan paksaan dari Rio, yang bertubuh besar dengan kepalanya yang botak.

Kali ini terlepas.

Namun tangan Rio langsung mencengkeram lengan Jayanti dan menariknya kasar ke mulut tangga. Muka Jayanti pias, suaranya ketakutan. Dia takut Rio yang tengah murka akan melemparkannya ke belasan anak tangga yang ada di depannya. “Rio....lepasin aku...lepasin.....,” ujar Jayanti mencoba menahan cengkeraman Rio yang makin menjadi.

Dalam keputusasaan tersebut, dia mencoba duduk dan tangannya mulai meraih-raih pegangan anak tangga. Keputusannya itu makin membuat Rio murka. Tarikannya makin sakit dirasakan Jayanti yang juga mulai berteriak minta tolong. Tapi teriakannya kalah oleh ketakutannya yang makin memuncak.

”Aku harus mempertahankan diri,” pikir Jayanti.

Jayanti memutuskan menendang perut Rio yang membuatnya terpelanting. Untungnya, Rio memiliki keseimbangan yang cukup baik sehingga tendangannya tak membuatnya terjatuh. Namun hal ini makin memantik kemarahannya. Matanya merah melotot, tangannya lagi-lagi mendekat ke tubuh Janesti.

Dalam isak tangis yang coba dicegahnya, Jayanti mencoba berani menghadapi kemurkaan Rio. Jayanti mencoba bangkit dari bibir tangga dan melarikan diri ke kamar Rio. Namun gerakan Rio lebih gesit dan langsung melayangkan tamparan ke pipinya tiga kali. Tamparan itu dilanjutkan dengan tendangan dua kali di perut Jayanti dan satu buah pukulan ke kepalanya.

Jayanti tak melawan lagi.

Jayanti kalah.

Rio pun pergi.

Merasa Rio sudah menjauh, Jayanti mencoba menahan sakit yang dirasakannya dan dengan setengah berlari dia masuk ke dalam kamarnya. Pintu langsung dikuncinya, gorden jendela ditutupnya. Dia terisak dan menelepon Respati, kakaknya yang berada di Bogor. Tak banyak dia berkata.

”Adikmu ini dihajar lagi oleh adik kesayanganmu!!!!,” ujarnya lirih setengah membentak.

Di ujung telepon, Respati terdengar terkejut. ”Kamu diapain Yan? Diapain lagi sama Rio?.”

Jayanti tak bisa berkata-kata lagi. Air matanya saja yang mengalir deras. Klik.
Jayanti mematikan ponselnya.

Dia memilih berbaring dan dalam sekejap dia hilang kesadaran.

***********

Jayanti dan Rio memang hanya tinggal berdua di Bekasi. Kakaknya yang sudah dikaruniai dua orang anak, bersama istrinya memilih tinggal di sebuah kampung di Bojongjengkol Bogor. Suasana yang sejuk dan jauh dari hiruk-pikuk ibukota jadi alasan yang diajukan Respati ke keluarga besarnya termasuk suaminya Endang Dwi Kusumaatmadja.

Orangtuanya sudah tak jelas kemana juntrungannya. Ibunya memilih menyepi di rumah nenek di Rembang Jawa Tengah. Ayahnya, terakhir kali didengarnya, berada di Madiun bersama istri barunya.

”Huh....kampret mereka berdua. Meninggalkan aku dengan Rio,” dengusnya kesal bila teringat nasib yang menimpanya.

Orangtuanya bercerai. Masing-masing membujuknya untuk ikut. Respati memilih membujuk suaminya untuk pindah ke Bogor. Adiknya Nuri memutuskan ikut dengan ibunya ke Rembang. Kakaknya Rio, mendukung ayahnya untuk kawin lagi dengan seorang janda kembang dari sebuah kota antah berantah. Jayanti, memilih tak ikut ayah atau ibunya, juga tak mau mengenal istri baru ayahnya.

”Mengingat namanya saja malas apalagi asal muasalnya. Yang pasti dia pelacur perebut suami orang,” semburnya tiap kali empat sahabatnya bertanya soal ayah, istri baru ayahnya dan ibunya.

Perempuan itu sebenarnya tak terlalu cantik. Hanya kulitnya yang bersih dan sikapnya yang gemulai telah memikat ayahnya. Dia selalu dibujuk untuk beramah-tamah dengan perempuan tersebut namun selalu ditampiknya. Terakhir kali, dia menampar dan menjambak rambut perempuan keparat itu dan melemparkannya ke kamar. Sayang, niat untuk menghajarnya kandas setelah kedua tangannya dipegang erat ayah dan kerabatnya.

*********

bip...bip...bip
Ponselnya berdering dengan nama Wulan tertulis di layar ponselnya. Dengan jengah diangkatnya telepon tersebut.

”Ya...,” jawab Jayanti.
”Gue boleh ke tempat loe?,” tanya Wulan.

Jayanti mendengar samar-samar tangisan Wulan. ”Ah...ini pasti abis berantem ama Tora. Emang kampret tuh cowok,” ujarnya dalam hati.

Jayanti adalah satu-satunya sahabat Wulan yang bereaksi keras dengan keberadaan Tora disisi sahabatnya. Dia mampu mengendus sifat Tora yang memang playboy. Berkali-kali diingatkannya bahkan Jayanti rela bertengkar hebat dengan Wulan demi agar sahabatnya sejak SMA itu meninggalkan Tora.

Namun semuanya mentok. Wulan keukeuh mencintai Tora. ”Aduh....gak bisa Lan. Jangan sekarang, gue lagi sibuk nih,” tolak Jayanti lembut.

Tak mungkin dia menemui Wulan dengan wajah carut marut seperti ini. Selama ini, Jayanti tak pernah menceritakan nasibnya kepada sahabat-sahabatnya. Yang ada, sahabatnya itu bisa mati pingsan melihat kondisinya yang lebam setelah dipukuli Rio.

Meski dekat dengan sahabatnya, tak ada sekelumit kisahpun meluncur dari bibir Jayanti mengenai keluarganya. Tiap kali ditanya mengenai orangtuanya, dia selalu mengatakan tengah tugas di luar kota. Dia memang berbohong. Tapi Jayanti yakin sahabatnya takkan tahu karena tak pernah sempat berbincang dengan Rio. Lagipula, tak mungkin lah keempat sahabatnya itu mengecek kebenaran ’tugas’ orangtuanya di luar kota.

*************

Satu-satunya yang tahu soal kondisi Jayanti hanyalah Rustam, tetangganya yang tinggal bersama ibunya. Sebagai anak lelaki bungsu yang belum menikah, Rustam menjadi satu-satunya orang yang bisa menemani ibunya yang menginjak usia paruh baya.

Dia bekerja wiraswasta di wilayah perumahan Galaxy. Usahanya cukup maju meski usianya masih muda. Rustam juga sudah menyerahkan tanggung jawab mengelola usahanya ke orang kepercayaannya. Karena sudah menjadi bos, maka dia bisa berangkat dengan seenak hatinya. Kadang berangkat pagi, siang, malam hari bahkan kadang tak berangkat kerja.

Karena kebiasaannya itu pula, maka sering kali Rustam mendengar teriakan dan jeritan minta tolong dari Jayanti. Rustam tahu yang menjerit adalah Jayanti karena dia satu-satunya perempuan di rumah yang bercat biru langit itu. Kali ini dia mendengar jeritan itu lagi.

Tapi dia tak melangkah berlari menolong tetangga perempuannya yang disiksa oleh kakaknya sendiri itu. Awalnya dia kerap berlari ke depan rumah Jayanti dan mengetuk pintu pagarnya. Ketukan di pagar itu sering menghentikan Rio mendaratkan pukulan ke tubuh Jayanti. Namun suatu ketika Rio mendatangi dan memperingatkannya untuk tak ikut campur.

Alhasil, Rustam memilih duduk diam mendengarkan tangisan Jayanti. Kegiatannya membaca buku sering dihentikan karena jeritan perempuan berambut keriting itu mampir di telinganya. Saat pendengarannya tengah sensitif, pertengkaran antara kakak-beradik itu membuatnya menempelkan telinga di dinding mencoba menguping perdebatan yang terjadi.

Jika pertengkaran sekiranya sudah mereda sekitar dua jam berikutnya dia akan nongkrong di depan pos ronda yang berada tepat di depan rumahnya. Kadang dia duduk sendiri di kursi dipan yang ada di pos ronda itu, kadang pula ditemani lajang-lajang pengangguran yang baru bangun tidur dari molornya.

Biasanya dua jam setelah pertengkaran itu, Jayanti akan keluar rumah. Rio sendiri sudah melarikan motor Bajaj-nya keluar rumah lebih dahulu. Perkiraannya tepat. Jayanti terlihat keluar dengan setelan celana jeans dan kaos you can see warna putih. Tangannya menenteng jaket putih bertudung.

Jayanti melangkah keluar pintu, wajahnya tertunduk. Rustam lalu melangkah masuk.

”Eh....loe ngapain disini?,” Jayanti gelagapan melihat kedatangan tetangganya itu.
”Enggak....pengen tau kondisi loe aja,” kata Rustam.

Jayanti segera memakaikan jaket ke tubuhnya namun Rustam keburu melihat bilur kebiruan di lengan tetangga perempuannya itu. Wajahnya berubah menjadi rasa iba.
Perubahan wajah Rustam dibaca Jayanti.
Jayanti tahu tetangganya yang cool itu tengah mengasihani nasibnya usai dihajar kakaknya sendiri. Uluran tangan Rustam ditampiknya.

”Udah...pergi sana. Gue mau keluar dulu,” tangkis Jayanti. Dia melangkah pergi. Dikenakannya jaketnya dan tudungnya di kepalanya yang masih senut-senut akibat pukulan Rio.

Jayanti tiba-tiba berhenti. Sebuah sentuhan di lengannya mengejutkannya. Rustam tengah menggenggam lengannya dengan lembut. “Ah....andai Rio menggandengku dengan lembut seperti seorang kakak-beradik,” pikirnya singkat.

“Yan....gue mau ngomong sesuatu,” ujar Rustam.

Jayanti berbalik dan menatap Rustam. Dia terlihat siap mendengarkan omongan Rustam namun sesungguhnya pikirannya berjalan jauh ke antah berantah.

“Rustam...Rustam...Rustam...Loe emang cowok baik. Enggak kayak bokap ama kakak gue yang brengsek bin kampret. Loe selalu ada waktu gue sedih dan menghibur dengan obrolan ringan. Tau gak sih kalo gue cinta ama loe,” Jayanti seolah berkata kepada Rustam lewat bola matanya yang berputar-putar memandang Rustam.

Rustam bukannya tak tersengat melihat sorot jenaka dari mata Jayanti. Hatinya berdebar tiap kali bertemu dengan dirinya. Dia tahu dirinya jatuh cinta pada tetangganya yang malang itu. Namun tak satu kata cinta berani terucap dari bibirnya.

Tentangan ibunya yang selalu menghalanginya mengucap cinta. Ibunya menganggap Jayanti perempuan tak layak untuk dirinya yang seorang pengusaha muda sukses. Jayanti dianggap akan membawa sial pada Rustam dan keluarganya. Sialnya, Rustam menuruti kata-kata ibunya meski dia cinta setengah mati pada Jayanti. Dia takut jika larangan ibunya dilanggar maka karma buruk akan menimpanya.

Tapi kalimat yang akan disampaikannya jauh lebih berat dari kata-kata cinta yang ingin diucapkannya. Lebih berat dari tantangan dalam bisnisnya. Ini adalah saatnya karena kabar ini tak mungkin lagi ditahannya. Dia tak menemukan momen yang pas lagi selain malam ini. Rustam membulatkan tekad memberi tahu gadis yang dicintainya lebih dahulu tentang keputusan yang diambilnya. Jika keputusan ini diketahui dari orang lain, Rustam tahu Jayanti akan lebih terluka.

Rustam mengambil nafas. ”Kenapa Tam?,” tanya Jayanti.
Bola matanya tak lagi jenaka, dia khawatir.
”....”
“Elo kenapa sih? Ngomong dong,” desak Jayanti. Suaranya sedikit dibuat tegas meski suara manja tetap terdengar menggemaskan.

Rustam mengambil nafas lagi.
”Sebelumnya gue mau minta maaf ama loe nyampein hal ini. Mmm....sebenernya gue mau kawin Yan, ama gadis pilihan nyokap gue.. Gue terpaksa memenuhi permintaan nyokap nikah ama cewek itu soalnya.....” runtut Rustam menjelaskan.

Jayanti tak mendengarkan lagi. Matanya tiba-tiba buram dan kegelapan total menyelimuti dirinya. **

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej