Pelaksanaan pemilihan gubernur Jawa Timur sudah memasuki fase baru. Setidaknya sudah ada lima pasangan calon yang dipastikan ikut dalam pertarungan memperebutkan kekuasaan yang tertinggi, Gubernur Jawa Timur.
Dari pengundian nomor urut cagub yang dilakukan di Hotel Garden Palace oleh KPU Jatim, masing-masing kandidat sudah mendapatkan nomor keramatnya. Nomor urut satu adalah pasangan Khofifah Indarparawansa-Mudjino (KaJi), urut nomor dua adalah Sutjipto-Ridwan Hisjam. Sedangkan nomor urut tiga Soenarjo-Ali Maschan, nomor urut empat adalah Achmady-Suhartono dan pasangan nomor lima adalah Soekarwo-Saifullah Yusuf.
Masing-masing menyatakan beruntung mendapatkan nomor urutnya. Saya tidak akan membahas soal makna dibalik nomor urut tersebut bagi kandidat-kandidat tersebut (bisa baca di www.beritajatim.com).
Saya ingin menulis soal berapa besar peluang masing-masing kandidat untuk bisa memenangkan pilgub kali ini. Cukup berat dan peluang pilgub berlangsung selama dua putaran sangat terbuka lebar.
Coba kita berhitung sejenak.
Dari tiap-tiap survey yang digelar, tidak ada satupun kandidat yang mendapatkan hasil 25 persen suara apalagi 30 persen suara. Jika saja para kandidat itu dapat 25 persen suara, bisa dikatakan dia memenangkan pilgub. Apalagi jika mendapat 30 persen suara, artinya dia menang mutlak.
Selain itu, kandidat yang maju ini kebanyakan dikenal sebagai tokoh Nahdlatul Ulama. Sebutlah nama Saifullah Yusuf, Khofifah Indarparawansa ataupun Ali Maschan Moesa, Achmady ataupun Ridwan Hisjam. Mereka adalah kader-kader tulen NU yang tidak diragukan sangat dikenal di kalangan masyarakat nahdliyyin.
Dari sini saja bisa muncul dua masalah. Jika semua calon adalah nahdliyyin, maka perolehan suara NU yang merupakan suara terbesar, terpecah jadi tiga. Jelas ini mengurangi perolehan suara yang bisa mendongkrak kemenangan. Persoalan kedua, apakah kandidat NU ini benar-benar bakal dicoblos oleh para nahdliyyin?
Bisa jadi, dengan banyaknya kandidat dari organisasi NU ini maka masyarakat bingung menentukan pilihan. Bagi yang pragmatis, bisa saja memilih golput alias tak mencoblos. Namun bagi yang ingin menggunakan hak pilih, bisa saja dia frustasi dan memilih bukan tokoh NU.
Dengan tiga kandidat NU, maka masing-masing kandidat NU ibarat menghisap darah sendiri. Masing-masing akan menghabisi suara dukungan. Suara Saifullah Yusuf digerogoti Khofifah, Achmady mencoba mencuri suara Khofifah sedangkan Gus Ipul menggerus suara Achmady, Ali Maschan mencoba merebut simpati massa NU dan Ridwan menggerogoti perlahan lewat jaringan pesantrennya di Madura.
Dari sini pertarungan bakalan 100 persen sengit.
Sementara itu, kandidat yang bukan tokoh NU tentu berebutan mengambil suara PDIP yang nasionalis sekuler. Soenarjo dikenal sebagai dalang, Soekarwo yang bergerilya sejak empat tahun terakhir, Soetjipto yang memiliki dukungan PDIP. Sementara dua calon militer yaitu Suhartono dan Mudjiono benar-benar tak laku di pilgub Jatim kali ini. Bayangkan, dari survey yang ada keduanya tidak memberi kontribusi suara signifikan dan kesannya malah nggandholi.
Meski tidak bisa dipercayai 100 persen, namun kita bisa berkaca dari hasil survey yang ada. Bisa dipastikan pertarungan bakalan sengit. Jika begini, peluang putaran kedua digelar terbuka lebar dan KPU Jatim pun sudah menyiapkan anggaran tambahan meski belum disetujui.
Lantas siapa yang bakal bertarung di putaran kedua?
Yang paling kuat tentu saja Soekarwo-Saifullah Yusuf. Dengan gerilya yang dilakukan sejak bertahun-tahun lalu, pasangan ini juga dituduh lawan politiknya disokong oleh anggaran APBD Jatim yang benar-benar fantastis. Tidak hanya itu, mantan Sekdaprop tersebut disebut-sebut didukung oleh gubernur Jatim saat ini Imam Utomo, di tiap kesempatan selalu diupayakan Imam Utomo hadir dalam sosialisasi yang digelar Soekarwo.
Belum lagi Saifullah Yusuf yang kabarnya didukung 100 persen oleh Ketua Umum PAN, Soetrisno Bachir untuk memenangkan pilgub Jatim. Jika Saifullah Yusuf gol jadi wakil gubernur, maka tujuan politik PAN 2009 bisa melenggang lebih mulus. Ujung-ujungnya, siapa tahu SB dicalonkan jadi capres dalam pilpres 2009 nanti.
Yang berpeluang mendampingi KarSa, bisa jadi SR atau KaJi.
Kenapa bukan Soenarjo-Ali Maschan Moesa? Sebuah survey menyatakan jika Soenarjo mendapatkan posisi tertinggi dalam hal popularitas. Namun saat dipasangkan dengan Ali Maschan Moesa, tiba-tiba saja dia anjlok. Elektabilitasnya pun turun drastis hingga hampir 15 persen. Belum lagi imej negatif paska pertentangan Ali Maschan dengan Rais Syuriah PWNU Jatim turut menarik elektabilitasnya ke level terendah hasil survey selama ini.
Kenapa SR? Dengan banyaknya kandidat nahdliyyin bertempur, maka kekuatan keduanya bisa jadi solid. Suara kaum nasionalis dan abangan bisa mengalir deras ke kantong-kantong perolehan suara mereka. Bisa jadi, saking fokusnya menggarap suara nahdliyyin, suara abangan ini terabaikan.
Coba dikalkulasikan. Anggaplah dari 29,7 juta pemilih pilgub jatim, 20 juta diantaranya adalah nahdliyyin. Jika dibagi empat kandidat terkuat nahdliyyin, maka masing-masing mendapatkan lima juta suara. Padahal ada sembilan juta suara yang tidak diperebutkan. Itu kasarannya.
Belum lagi jika ternyata warga nahdliyyin lebih memilih Ridwan sebagai orang yang bisa mewujudkan Indonesia adil dan makmur. Tentu saja menambah perolehan suara mereka. Atau sebut saja dapat durian runtuh.
Kenapa Khofifah? Meski baru-baru saja mendeklarasikan diri sebagai calon gubernur, namun survey Khofifah langsung melesat hingga 8 persen, membalap Achmady. Bahkan survey Institut Survey Publik (ISP), dalam hal ke-NU-an, mereka lebih memilih Khofifah ketimbang Soekarwo. Hmm...
Dukungan dari Ketua PBNU Hasyim Muzadi dan besarnya massa perempuan yang dijaring lewat organisasi Muslimat, bisa jadi modal utama. Belum lagi sokongan dana dan dukungan yang kabarnya melimpah ruah, sampai-sampai mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan di era Gus Dur itu terpaksa menolak sementara waktu.
Lantas kenapa bukan Achmady? Banyak yang menyayangkan sikap PKB yang mengusung bupati Mojokerto itu sebagai cagub. Dengan posisi sebagai tokoh lokal, kehadiran Achmady seolah-olah jadi pelengkap saja. Proposal Gus Dur untuk menjaring dana kampanye pun dikabarkan mentah. Achmady terpaksa merogoh kocek sendiri agar tetap bisa dipertahankan jadi cagub dan menjalankan kampanye meski kecil-kecilan.
Belum lagi, konflik internal di tubuh PKB Jatim. Tak kurang-kurangnya konflik menjalar juga di tubuh DPP. Beruntung, KPU Jatim meloloskan dia sebagai kandidat PKB bukannya pasangan Samiatun-Arif Darmawan. Itu saja sudah untung-untungan.
Achmady bisa dikatakan pusing setengah mati karena partai tampaknya juga setengah hati mencalonkan dirinya. Hingga kini masih belum terdengar jelas atau terlihat nyata dukungan partai untuk mengegolkan Achmady jadi gubernur. Ini pun diakui oleh salah seorang anggota tim sukses. Dia pun mengeluh karena pimpinan partai cuek ketika kubu Imam Nahrawi terus menyerang. Dana pun tak ada, sehingga mereka terpaksa menghentikan aliran listrik dan air di posko pemenangan mereka di The Achmady Institute.
Nasib Achmady semakin dilematis. Peraturan baru Mendagri yang mengharuskan seorang pejabat melepaskan jabatannya jika maju dalam pilgub atau pilkada benar-benar tidak menguntungkan dirinya. Karena sudah terlanjur, maka dia pun maju terus dan melepaskan jabatannya. Dengan segudang masalah internal, tentu saja peluang untuk meraup dukungan eksternal jadi minim.
Tapi ini adalah prediksi yang bisa berubah karena manusia berubah-ubah setiap waktu. Bisa saja Soenarjo berada di puncak survey dan sekarang dia terjatuh di kisaran 15-20 persen. Bisa saja, Soekarwo sumringah kali ini karena hasil survey terus menerus menanjak tapi siapa yang tahu dia terpeleset di tanjakan yang licin.
Tim sukses pun tidak mau rugi. Mereka sudah mengerahkan segala daya dan upaya, tenaga dan pikiran, jiwa dan materi untuk memenangkan pasangan yang diusungnya. Ini bukan masalah harta tapi juga masalah harga diri. Mereka akan bertarung habis-habisan agar kandidatnya bisa menang.
Dan lagi, pilkada sekarang ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Meski bisa saja dimanipulasi, namun tentu tidak semuanya bisa dikibuli oleh para calon gubernur itu. Money politics masih saja berjalan namun persoalan mencoblos kembalikan ke hati nurani.
Jika ditarik secara lebih jauh lagi, pilkada bukan hanya persoalan memenangkan pemerintahan tertinggi di Jawa Timur. Tapi pilkada juga jadi ajang siapa yang jadi pemenang antara kebutuhan materiil atau hati nurani.
Siapa yang bisa menjawab? Hanya Tuhan yang tahu dan waktu yang bisa memberikan jawaban pada manusia.
Dari pengundian nomor urut cagub yang dilakukan di Hotel Garden Palace oleh KPU Jatim, masing-masing kandidat sudah mendapatkan nomor keramatnya. Nomor urut satu adalah pasangan Khofifah Indarparawansa-Mudjino (KaJi), urut nomor dua adalah Sutjipto-Ridwan Hisjam. Sedangkan nomor urut tiga Soenarjo-Ali Maschan, nomor urut empat adalah Achmady-Suhartono dan pasangan nomor lima adalah Soekarwo-Saifullah Yusuf.
Masing-masing menyatakan beruntung mendapatkan nomor urutnya. Saya tidak akan membahas soal makna dibalik nomor urut tersebut bagi kandidat-kandidat tersebut (bisa baca di www.beritajatim.com).
Saya ingin menulis soal berapa besar peluang masing-masing kandidat untuk bisa memenangkan pilgub kali ini. Cukup berat dan peluang pilgub berlangsung selama dua putaran sangat terbuka lebar.
Coba kita berhitung sejenak.
Dari tiap-tiap survey yang digelar, tidak ada satupun kandidat yang mendapatkan hasil 25 persen suara apalagi 30 persen suara. Jika saja para kandidat itu dapat 25 persen suara, bisa dikatakan dia memenangkan pilgub. Apalagi jika mendapat 30 persen suara, artinya dia menang mutlak.
Selain itu, kandidat yang maju ini kebanyakan dikenal sebagai tokoh Nahdlatul Ulama. Sebutlah nama Saifullah Yusuf, Khofifah Indarparawansa ataupun Ali Maschan Moesa, Achmady ataupun Ridwan Hisjam. Mereka adalah kader-kader tulen NU yang tidak diragukan sangat dikenal di kalangan masyarakat nahdliyyin.
Dari sini saja bisa muncul dua masalah. Jika semua calon adalah nahdliyyin, maka perolehan suara NU yang merupakan suara terbesar, terpecah jadi tiga. Jelas ini mengurangi perolehan suara yang bisa mendongkrak kemenangan. Persoalan kedua, apakah kandidat NU ini benar-benar bakal dicoblos oleh para nahdliyyin?
Bisa jadi, dengan banyaknya kandidat dari organisasi NU ini maka masyarakat bingung menentukan pilihan. Bagi yang pragmatis, bisa saja memilih golput alias tak mencoblos. Namun bagi yang ingin menggunakan hak pilih, bisa saja dia frustasi dan memilih bukan tokoh NU.
Dengan tiga kandidat NU, maka masing-masing kandidat NU ibarat menghisap darah sendiri. Masing-masing akan menghabisi suara dukungan. Suara Saifullah Yusuf digerogoti Khofifah, Achmady mencoba mencuri suara Khofifah sedangkan Gus Ipul menggerus suara Achmady, Ali Maschan mencoba merebut simpati massa NU dan Ridwan menggerogoti perlahan lewat jaringan pesantrennya di Madura.
Dari sini pertarungan bakalan 100 persen sengit.
Sementara itu, kandidat yang bukan tokoh NU tentu berebutan mengambil suara PDIP yang nasionalis sekuler. Soenarjo dikenal sebagai dalang, Soekarwo yang bergerilya sejak empat tahun terakhir, Soetjipto yang memiliki dukungan PDIP. Sementara dua calon militer yaitu Suhartono dan Mudjiono benar-benar tak laku di pilgub Jatim kali ini. Bayangkan, dari survey yang ada keduanya tidak memberi kontribusi suara signifikan dan kesannya malah nggandholi.
Meski tidak bisa dipercayai 100 persen, namun kita bisa berkaca dari hasil survey yang ada. Bisa dipastikan pertarungan bakalan sengit. Jika begini, peluang putaran kedua digelar terbuka lebar dan KPU Jatim pun sudah menyiapkan anggaran tambahan meski belum disetujui.
Lantas siapa yang bakal bertarung di putaran kedua?
Yang paling kuat tentu saja Soekarwo-Saifullah Yusuf. Dengan gerilya yang dilakukan sejak bertahun-tahun lalu, pasangan ini juga dituduh lawan politiknya disokong oleh anggaran APBD Jatim yang benar-benar fantastis. Tidak hanya itu, mantan Sekdaprop tersebut disebut-sebut didukung oleh gubernur Jatim saat ini Imam Utomo, di tiap kesempatan selalu diupayakan Imam Utomo hadir dalam sosialisasi yang digelar Soekarwo.
Belum lagi Saifullah Yusuf yang kabarnya didukung 100 persen oleh Ketua Umum PAN, Soetrisno Bachir untuk memenangkan pilgub Jatim. Jika Saifullah Yusuf gol jadi wakil gubernur, maka tujuan politik PAN 2009 bisa melenggang lebih mulus. Ujung-ujungnya, siapa tahu SB dicalonkan jadi capres dalam pilpres 2009 nanti.
Yang berpeluang mendampingi KarSa, bisa jadi SR atau KaJi.
Kenapa bukan Soenarjo-Ali Maschan Moesa? Sebuah survey menyatakan jika Soenarjo mendapatkan posisi tertinggi dalam hal popularitas. Namun saat dipasangkan dengan Ali Maschan Moesa, tiba-tiba saja dia anjlok. Elektabilitasnya pun turun drastis hingga hampir 15 persen. Belum lagi imej negatif paska pertentangan Ali Maschan dengan Rais Syuriah PWNU Jatim turut menarik elektabilitasnya ke level terendah hasil survey selama ini.
Kenapa SR? Dengan banyaknya kandidat nahdliyyin bertempur, maka kekuatan keduanya bisa jadi solid. Suara kaum nasionalis dan abangan bisa mengalir deras ke kantong-kantong perolehan suara mereka. Bisa jadi, saking fokusnya menggarap suara nahdliyyin, suara abangan ini terabaikan.
Coba dikalkulasikan. Anggaplah dari 29,7 juta pemilih pilgub jatim, 20 juta diantaranya adalah nahdliyyin. Jika dibagi empat kandidat terkuat nahdliyyin, maka masing-masing mendapatkan lima juta suara. Padahal ada sembilan juta suara yang tidak diperebutkan. Itu kasarannya.
Belum lagi jika ternyata warga nahdliyyin lebih memilih Ridwan sebagai orang yang bisa mewujudkan Indonesia adil dan makmur. Tentu saja menambah perolehan suara mereka. Atau sebut saja dapat durian runtuh.
Kenapa Khofifah? Meski baru-baru saja mendeklarasikan diri sebagai calon gubernur, namun survey Khofifah langsung melesat hingga 8 persen, membalap Achmady. Bahkan survey Institut Survey Publik (ISP), dalam hal ke-NU-an, mereka lebih memilih Khofifah ketimbang Soekarwo. Hmm...
Dukungan dari Ketua PBNU Hasyim Muzadi dan besarnya massa perempuan yang dijaring lewat organisasi Muslimat, bisa jadi modal utama. Belum lagi sokongan dana dan dukungan yang kabarnya melimpah ruah, sampai-sampai mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan di era Gus Dur itu terpaksa menolak sementara waktu.
Lantas kenapa bukan Achmady? Banyak yang menyayangkan sikap PKB yang mengusung bupati Mojokerto itu sebagai cagub. Dengan posisi sebagai tokoh lokal, kehadiran Achmady seolah-olah jadi pelengkap saja. Proposal Gus Dur untuk menjaring dana kampanye pun dikabarkan mentah. Achmady terpaksa merogoh kocek sendiri agar tetap bisa dipertahankan jadi cagub dan menjalankan kampanye meski kecil-kecilan.
Belum lagi, konflik internal di tubuh PKB Jatim. Tak kurang-kurangnya konflik menjalar juga di tubuh DPP. Beruntung, KPU Jatim meloloskan dia sebagai kandidat PKB bukannya pasangan Samiatun-Arif Darmawan. Itu saja sudah untung-untungan.
Achmady bisa dikatakan pusing setengah mati karena partai tampaknya juga setengah hati mencalonkan dirinya. Hingga kini masih belum terdengar jelas atau terlihat nyata dukungan partai untuk mengegolkan Achmady jadi gubernur. Ini pun diakui oleh salah seorang anggota tim sukses. Dia pun mengeluh karena pimpinan partai cuek ketika kubu Imam Nahrawi terus menyerang. Dana pun tak ada, sehingga mereka terpaksa menghentikan aliran listrik dan air di posko pemenangan mereka di The Achmady Institute.
Nasib Achmady semakin dilematis. Peraturan baru Mendagri yang mengharuskan seorang pejabat melepaskan jabatannya jika maju dalam pilgub atau pilkada benar-benar tidak menguntungkan dirinya. Karena sudah terlanjur, maka dia pun maju terus dan melepaskan jabatannya. Dengan segudang masalah internal, tentu saja peluang untuk meraup dukungan eksternal jadi minim.
Tapi ini adalah prediksi yang bisa berubah karena manusia berubah-ubah setiap waktu. Bisa saja Soenarjo berada di puncak survey dan sekarang dia terjatuh di kisaran 15-20 persen. Bisa saja, Soekarwo sumringah kali ini karena hasil survey terus menerus menanjak tapi siapa yang tahu dia terpeleset di tanjakan yang licin.
Tim sukses pun tidak mau rugi. Mereka sudah mengerahkan segala daya dan upaya, tenaga dan pikiran, jiwa dan materi untuk memenangkan pasangan yang diusungnya. Ini bukan masalah harta tapi juga masalah harga diri. Mereka akan bertarung habis-habisan agar kandidatnya bisa menang.
Dan lagi, pilkada sekarang ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Meski bisa saja dimanipulasi, namun tentu tidak semuanya bisa dikibuli oleh para calon gubernur itu. Money politics masih saja berjalan namun persoalan mencoblos kembalikan ke hati nurani.
Jika ditarik secara lebih jauh lagi, pilkada bukan hanya persoalan memenangkan pemerintahan tertinggi di Jawa Timur. Tapi pilkada juga jadi ajang siapa yang jadi pemenang antara kebutuhan materiil atau hati nurani.
Siapa yang bisa menjawab? Hanya Tuhan yang tahu dan waktu yang bisa memberikan jawaban pada manusia.
Comments